Pada tanggal 30 Agustus
2014, dalam laporan 2015 ASEAN Business Outlook Survey, disampaikan bahwa
Indonesia menempati peringkat teratas sebagai target lokasi para pengusaha AS
untuk memperluas bisnisnya di kawasan ASEAN. Sebanyak 41 pengusaha asal AS
mengaku jatuh hati pada pesona bisnis Indonesia. Sementara itu, Vietnam dan
Malaysia masing-masing berada di posisi kedua (37 persen) dan ketiga (35
persen).
Pesona ekonomi Indonesia tersebut
bukanlah merupakan hal yang baru dan terlalu mengejutkan, Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2012 merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 6,2% atau ketiga tertinggi di kawasan
Asia, setelah China 7,8% dan Filipina 6,6%. Pendapatan per kapita di Indonesia
pun naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi US$3.562 di
2012 dari US$1.916 di 2007.
Bahkan, pada tahun
2013, walaupun terjadi perlambatan dalam laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia, sehingga pertumbuhan untuk keseluruhan tahun 2013 berada pada
kisaran 5,8%. Apabila dibandingkan dengan negara-negara G-20 (Indonesia menjadi
anggota kelompok G-20 sejak tahun 2008 dan pada tahun 2013 telah menduduki
peringkat perekonomian terbesar ke-15), maka tingkat pertumbuhan Indonesia
tersebut masih berada di urutan ke-2 setelah China dan di atas rata-rata
tingkat pertumbuhan dunia yang pada tahun 2013 diprediksi sebesar 3,3%
Pertumbuhan
IHSG (Indeks Harga Saham) atas transaksi di Bursa Efek Indonesia, naiknya
volume Cadangan Devisa Negara dan meningkatnya jumlah Investasi Langsung Modal
Asing ke Indonesia juga menunjukan pesatnya maju pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini, khususnya setelah
kondisi krisis ekonomi global tahun 1998 tempo dulu.
Namun demikian, betapa banyaknya pujian atas pesona ekonomi Indonesia dan daya tahan kuat perekonomian nya dalam menghadapi gejolak ekonomi dan keuangan global, justeru kita sebagai bangsa Indonesia harus berwaspada dan melakukan intropeksi diri “apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah benar-benar baik, dan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan ?”
Karena selain dari data dan
angka-angka yang mempesona tersebut diatas, masih ada hal lain yang saat ini penting
untuk kita cermati dan waspadai, yaitu masalah “Middle Income Trap” dan “Kesenjangan
Pendapatan Masyarakat” serta “Tingkat
Literasi Keuangan Masyarakat”
·
Middle
Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah)
Sebelum 1990 Indonesia masuk dalam
kelompok Low Income country (USD PPP 2005), Sejak 1990–sekarang: Indonesia tergolong
Lower Middle Income Country.
“Middle Income Trap” yaitu fenomena kondisi
perekonomian suatu negara yang telah berhasil masuk dalam kelompok middle income namun kemudian mengalami
stagnasi dalam jangka waktu cukup lama dan tidak berhasil naik ke kelompok high income. Kondisi ini menunjukkan posisi
suatu negara berada di tengah-tengah antara kelompok produsen dengan upah murah
(low wage producer) dan
kelompok produsen berketrampilan tinggi dan inovatif (highly skilled-innovation producer),
sehingga negara tersebut kehilangan keunggulan terkait upah murah dan tidak
dapat berkompetisi dengan negara maju.
Salah
satu negara yang diidentifikasi ADB berada dalam kelompok LMI adalah Indonesia,
dengan melihat perkembangan tahun 2013 dimana pendapatan perkapita masih
berkisar $ 5.170 (ppp harga konstan 1990), maka ADB memastikan bahwa Indonesia
telah masuk dalam perangkap lower
middle income (LMIT).
Selain masalah
“Middle Income Trap” tersebut diatas, masalah yang ada muncul dalam “middle
income class” di Indonesia” adalah ternyata mereka berprilaku kian konsumtif. Sekitar ¾ pengeluran rumah
tangga kelas menengah dialokasikan untuk konsumsi mulai darikebutuhan
sehari-hari (41%), mencicil hutang (12%), berkomunikasi seperti telepon dan
berinternet (9%), dan menikmati hiburan (7%). Hanya seperempat dari pendapatan
ditabung (16%) dan diinvesasikan (3%).
·
Kesenjangan
Pendapatan Masyarakat
Meskipun pendapatan perkapita suatu negara selalu meningkat
hingga mencapai tingkatan yang lebih maju dan sejahtera, namun pendapatan
perkapita dapat bias pada suatu kelompok tertentu yang lebih mampu meraih
manfaat dari pertumbuhan perekonomian. Dalam hal ini, adanya ketidak-merataan produktivitas
sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin melebar (kesenjangan antar
wilayah, kesenjangan antar sektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan).
Keterangan : Pengukuran menggunakan “GINI Ratio”, apabila
koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila
bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.
Tingkat kesenjangan pendapatan penduduk
di Indonesia semakin meningkat, dari 0,33 pada tahun 2004 menjadi 0,37 (2009)
dan terus meningkat hingga mencapai 0,41sejak tahun 2011. Angka indeks tersebut
menunjukkan bahwa porsi pendapatan terhadap PDB dari 40% penduduk berpendapatan
terendah terhadap pendapatan nasional mengalami penurunan dari 20,22% (2004)
menjadi 16,86% (2011), begitu pula porsi dari 40% penduduk berpendapatan
menengah menurun dari 36,9% menjadi 34,7%, sedangkan 20% penduduk berpendapatan
tertinggi justru mengalami peningkatan dari 42,09% menjadi 48,41%.
Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok berpendapatan tertinggi mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam
perekonomian dibandingkan kelompok berpendapatan terendah dan menengah.
Dan justeru Menurut Bambang
Brodjonegoro (Wakil Menteri Keuangan); “yang mengganggu dari masalah middle
income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan
antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”.
·
Literasi
Keuangan (Financial Literacy)
Literasi
keuangan (Financial Literacy) adalah tingkat pengetahuan dasar masyarakat
tentang keuangan, yaitu mencakup keterampilan dalam hal mengelola keuangannya
(mendapatkan-membelanjakan, menabung, investasi dan meminjam uang). Tingkat pemahaman
masyarakat akan literasi keuangan akan menjadi bekal penting dalam setiap pengambilan
keputusan keuangan yang dapat meningkatkan sumber daya keuangannya, dan
mendorong akses kedalam sistem keuangan.
Tingkat
literasi keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di
negara-negara sedang berkembang, dan salah satu permasalahan yang
mengemuka di Indonesia adalah kesenjangan sektor keuangan yang masih terbilang
tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga. Kesenjangan sektor keuangan di
Indonesia tidak hanya menyangkut keterjangkauan (inklusi), tetapi juga tentang
pemahaman (literasi).
Berdasarkan survei indeks MasterCard, untuk seluruh negara Asia Pasifik yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat terendah ketiga. Khusus komponen indeks investasi, posisi Indonesia terbelakang di antara seluruh negara Asia Pasifik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan survei nasional mengenai
tingkat Literasi Keuangan masyarakat Indonesia, Survei Nasional Literasi
Keuangan dilakukan pada Semester I tahun 2013 di 20 provinsi dengan melibatkan
jumlah responden sebanyak 8.000 orang. Dari Survei
Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan pada 8.000 responden, diketahui bahwa
hanya 21,84% penduduk Indonesia tergolong memiliki tingkat literasi keuangan
baik.
Hasil survey lainnya adalah sbb.:
Dari
permasalahan yang dihadapi tersebut diatas, jelas tampak bahwa walaupun laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukan angka yang mempesona,
tetapi jika kita mencermati permasalahan yang tengah dihadapi saat ini; (1)Middle
Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah), dan (2) Ketidak-merataan
produktivitas, serta (3)Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat, maka
angka-angka yang mempesona tersebut adalah merupakan hal yang semu semata.
Dengan kata lain, pertumbuhan
ekonomi Indonesia saat ini masih belum kokoh (baca: rapuh) dan belum inklusif
(karena karena masih ada sebagian kelompok yang belum menikmati).
Permasalahan “Middle Income
Trap” dan “Ketidak-merataan produktivitas” serta “Rendahnya Tingkat Literasi
Keuangan Masyarakat” adalah permasalahan kritis yang saling terkait dan harus
segera diselesaikan. Keterkaitan ini dapat
dilihat sbb.:
·
Rendahnya tingkat literasi keuangan seseorang, akan menyebabkan
orang tersebut cenderung berprilaku konsumtif dan boros.
·
Berdasarkan survey, middle income class Indonesia menunjukan
prilaku yang semakin konsumtif dan cenderung boros.
·
Yang sangat mengganggu dalam middle income trap adalah
disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok
masyarakat maupun disparitas antar daerah”. (Bambang Brodjonegoro)
·
Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat
makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan
investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan
perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Oleh karena itu, sebagai
salah satu strategi untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dan sekaligus inklusif”, maka upaya pemerintah (baca: OJK) dalam meningkatkan
tingkat literasi keuangan diseluruh kalangan masyarakat Indonesia adalah
merupakan suatu upaya yang sangat tepat.
Upaya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta penggunaan
produk dan jasa keuangan oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk
meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat.
Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia
Menurut
penilaian Deputi Gubernur Bank Indonesia, M.Hadad, perekonomian nasional tidak
akan mudah tergoyahkan atau terimbas oleh berbagai krisis keuangan dunia jika
masyarakat memahami sistem keuangan (Kompas, 21 Oktober 2008).
·
Banyaknya masyarakat yang tidak
mengerti tentang finansial menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami
kerugian, baik akibat penurunan kondisi perekonomian dan inflasi atau karena
berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung boros karena masyarakat semakin
konsumtif.
·
Masyarakat banyak yang memanfaatkan
kredit rumah dan kartu kredit , tetapi karena pengetahuannya minim, tidak
sedikit yang mengalami kerugian atau sering terjadi perbedaan perhitungan
antara konsumen dan bank.
·
Banyak masyarakat yang tidak
berinvestasi ataupun tidak bisa mengakses pasar modal dan pasar uang, karena
memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut.
Pada tanggal 19 November 2013 secara
resmi telah diluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia.
Strategi
tersebut merupakan rangkaian
proses atau aktivitas untuk meningkatkan : Pengetahuan (knowledge); keterampilan
(skill); dan keyakinan (confidence) masyarakat luas sehingga
mereka mampu mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik.
Strategi
Nasional Literasi Keuangan merupakan program strategis yang sama pentingnya
dengan program-program nasional lainnya, dan merupakan program nasional yang
bersifat jangka panjang yang dalam implementasinya melibatkan banyak pihak.
Melalui
Literasi Keuangan diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman mengenai lembaga
jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan
risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki
keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Hal dimaksud, lebih
lanjut diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan jasa
keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi
ini pada gilirannya akan memotivasi sektor jasa keuangan untuk meningkatkan
edukasi dan mengembangkan produk dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan
berbagai lapisan masyarakat.
Literasi keuangan di tingkat mikro
menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan
akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam
konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Melalui pelaksanaan
program Strategi Nasional Literasi Keuangan secara terarah dan terukur,
diharapkan masyarakat bukan hanya menjadi well literate dalam masalah keuangan,
namun juga menjadi masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan baik yang
pada akhirnya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC.
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar