Minggu, 15 Maret 2015
Sabtu, 08 November 2014
BNI dan Program Literasi Keuangan
Literasi Keuangan (Financial Literacy)
Literasi keuangan (Financial Literacy) adalah tingkat
pengetahuan dasar masyarakat tentang keuangan, yaitu mencakup keterampilan
dalam hal mengelola keuangannya (mendapatkan-membelanjakan, menabung, investasi
dan meminjam uang). Tingkat pemahaman masyarakat akan literasi keuangan akan
menjadi bekal penting dalam setiap pengambilan keputusan keuangan yang dapat
meningkatkan sumber daya keuangannya, dan mendorong akses kedalam sistem
keuangan.
Tingkat literasi keuangan di negara-negara maju lebih
tinggi dibandingkan di negara-negara sedang berkembang, dan salah satu
permasalahan yang mengemuka di Indonesia adalah kesenjangan sektor keuangan
yang masih terbilang tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga. Kesenjangan
sektor keuangan di Indonesia tidak hanya menyangkut keterjangkauan (inklusi),
tetapi juga tentang pemahaman (literasi).
Berdasarkan survei indeks MasterCard, untuk seluruh negara Asia Pasifik
yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat terendah ketiga. Khusus komponen
indeks investasi, posisi Indonesia terbelakang di antara seluruh negara Asia
Pasifik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan
survei
nasional mengenai tingkat Literasi Keuangan masyarakat Indonesia, Survei
Nasional Literasi Keuangan dilakukan pada Semester I tahun 2013 di 20 provinsi dengan
melibatkan jumlah responden sebanyak 8.000 orang. Dari
Survei Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan pada 8.000 responden,
diketahui bahwa hanya 21,84% penduduk Indonesia tergolong memiliki tingkat
literasi keuangan baik.
Hasil survey
lainnya adalah sbb.:
Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia
Menurut
penilaian Deputi Gubernur Bank Indonesia, M.Hadad, perekonomian nasional tidak
akan mudah tergoyahkan atau terimbas oleh berbagai krisis keuangan dunia jika
masyarakat memahami sistem keuangan (Kompas, 21 Oktober 2008).
·
Banyaknya masyarakat yang tidak
mengerti tentang finansial menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami
kerugian, baik akibat penurunan kondisi perekonomian dan inflasi atau karena
berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung boros karena masyarakat semakin
konsumtif.
·
Masyarakat banyak yang memanfaatkan
kredit rumah dan kartu kredit , tetapi karena pengetahuannya minim, tidak
sedikit yang mengalami kerugian atau sering terjadi perbedaan perhitungan
antara konsumen dan bank.
·
Banyak masyarakat yang tidak
berinvestasi ataupun tidak bisa mengakses pasar modal dan pasar uang, karena
memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut.
Pada tanggal 19 November 2013 secara
resmi telah diluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia.
Strategi
tersebut merupakan rangkaian
proses atau aktivitas untuk meningkatkan : Pengetahuan (knowledge); keterampilan
(skill); dan keyakinan (confidence) masyarakat luas sehingga
mereka mampu mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik.
Melalui pelaksanaan
program Strategi Nasional Literasi Keuangan secara terarah dan terukur,
diharapkan masyarakat bukan hanya menjadi well literate dalam masalah keuangan,
namun juga menjadi masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan baik yang
pada akhirnya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Literasi
Keuangan merupakan program strategis yang sama pentingnya dengan
program-program nasional lainnya, dan merupakan program nasional yang bersifat
jangka panjang yang dalam implementasinya melibatkan banyak pihak.
Melalui
Literasi Keuangan diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman mengenai lembaga
jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan
risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki
keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Hal dimaksud, lebih
lanjut diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan jasa
keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi
ini pada gilirannya akan memotivasi sektor jasa keuangan untuk meningkatkan
edukasi dan mengembangkan produk dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan
berbagai lapisan masyarakat.
Literasi keuangan di tingkat mikro
menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan
akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam
konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
BNI dan Program Literasi Keuangan
Dalam rangka mendukung Program Strategi Nasional
Literasi Keuangan tersebut dan
dengan menyadari betapa pentingnya untuk memberikan pembelajaran mengenai
keuangan kepada masyarakat, PT. Bank Negara Indonesia
(Persero)Tbk., membuat suatu terobosan baru yaitu menyediakan sarana bagi
masyarakat untuk dapat belajar mengenai keuangan dengan cara yang sederhana dan
menyenangkan.
Team Busines Development Segment Emerald di Divisi
Customer & Marketing Management BNI
membuat inovasi baru dalam hal mengatasi permasalahan masih sedikitnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai pengelolaan dan penggunaan uang.
BNI berhasil menciptakan sarana/alat bagi masyarakat
indonesia untuk dapat belajar mengenai keuangan dengan cara yang sederhana dan
menyenangkan, alat tersebut diberi nama “BNI Financial Board Game”.
BNI Financial Board Game adalah permainan semacam ‘permainan monopoli’ yang berbentuk
alat simulasi pembelajaran tentang Kehidupan sehari-hari dan Keuangan.
Permainan ini sangat menarik dan menyenangkan serta cocok untuk
mengasah ketrampilan dan melatih kecerdasan anda dalam mengelola keuangan.
BNI Financial Board Game ini bukan sekedar permainan
biasa, disini anda belajar banyak hal tentang bagaimana mengelola keuangan-investasi-asuransi
sampai sedekah/charity, yang jika dilatih secara rutin akan mampu mempertajam
Financial IQ anda.
Dengan mengalami dan terlibat langsung bermain ‘BNI
Financial Board Game’, anda akan dapat
dengan lebih mudah dan lebih cepat dalam
memahami informasi komplit mengenai seluk beluk dunia keuangan; dari kondisi
ekonomi makro, cara membelanjakan uang, sedekah/charity hingga perbedaan
karakter berbagai produk investasi dan asuransi yg dapat digunakan sebagai
sarana utk menempatkan dana dan melindungi anda.
BNI Financial Board Games dibuat dalam 3 versi,
yaitu;
1.
BNI Financial Board Game for Professional (Untuk Dewasa)
2.
BNI Financial Board Game for Teens (Untuk Remaja dan Mahasiswa)
3.
BNI Financial Board Game for Kids (Untuk Anak-Anak)
BNI Financial Board Game akan dapat melatih siapapun
yg berminat untuk belajar mempraktekkan cara-cara pengelolaan keuangan secara
benar, dan juga dapat membuka wawasan tentang produk bank, investasi dan
asuransi, serta mengajarkan cara berinvestasi seperti yg dilakukan oleh mereka
yg kaya & sukses.
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM.,RFC.
Pertumbuhan Ekonomi dan Literasi Keuangan
Pada tanggal 30 Agustus
2014, dalam laporan 2015 ASEAN Business Outlook Survey, disampaikan bahwa
Indonesia menempati peringkat teratas sebagai target lokasi para pengusaha AS
untuk memperluas bisnisnya di kawasan ASEAN. Sebanyak 41 pengusaha asal AS
mengaku jatuh hati pada pesona bisnis Indonesia. Sementara itu, Vietnam dan
Malaysia masing-masing berada di posisi kedua (37 persen) dan ketiga (35
persen).
Pesona ekonomi Indonesia tersebut
bukanlah merupakan hal yang baru dan terlalu mengejutkan, Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2012 merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 6,2% atau ketiga tertinggi di kawasan
Asia, setelah China 7,8% dan Filipina 6,6%. Pendapatan per kapita di Indonesia
pun naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi US$3.562 di
2012 dari US$1.916 di 2007.
Bahkan, pada tahun
2013, walaupun terjadi perlambatan dalam laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia, sehingga pertumbuhan untuk keseluruhan tahun 2013 berada pada
kisaran 5,8%. Apabila dibandingkan dengan negara-negara G-20 (Indonesia menjadi
anggota kelompok G-20 sejak tahun 2008 dan pada tahun 2013 telah menduduki
peringkat perekonomian terbesar ke-15), maka tingkat pertumbuhan Indonesia
tersebut masih berada di urutan ke-2 setelah China dan di atas rata-rata
tingkat pertumbuhan dunia yang pada tahun 2013 diprediksi sebesar 3,3%
Pertumbuhan
IHSG (Indeks Harga Saham) atas transaksi di Bursa Efek Indonesia, naiknya
volume Cadangan Devisa Negara dan meningkatnya jumlah Investasi Langsung Modal
Asing ke Indonesia juga menunjukan pesatnya maju pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini, khususnya setelah
kondisi krisis ekonomi global tahun 1998 tempo dulu.
Namun demikian, betapa banyaknya pujian atas pesona ekonomi Indonesia dan daya tahan kuat perekonomian nya dalam menghadapi gejolak ekonomi dan keuangan global, justeru kita sebagai bangsa Indonesia harus berwaspada dan melakukan intropeksi diri “apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah benar-benar baik, dan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan ?”
Karena selain dari data dan
angka-angka yang mempesona tersebut diatas, masih ada hal lain yang saat ini penting
untuk kita cermati dan waspadai, yaitu masalah “Middle Income Trap” dan “Kesenjangan
Pendapatan Masyarakat” serta “Tingkat
Literasi Keuangan Masyarakat”
·
Middle
Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah)
Sebelum 1990 Indonesia masuk dalam
kelompok Low Income country (USD PPP 2005), Sejak 1990–sekarang: Indonesia tergolong
Lower Middle Income Country.
“Middle Income Trap” yaitu fenomena kondisi
perekonomian suatu negara yang telah berhasil masuk dalam kelompok middle income namun kemudian mengalami
stagnasi dalam jangka waktu cukup lama dan tidak berhasil naik ke kelompok high income. Kondisi ini menunjukkan posisi
suatu negara berada di tengah-tengah antara kelompok produsen dengan upah murah
(low wage producer) dan
kelompok produsen berketrampilan tinggi dan inovatif (highly skilled-innovation producer),
sehingga negara tersebut kehilangan keunggulan terkait upah murah dan tidak
dapat berkompetisi dengan negara maju.
Salah
satu negara yang diidentifikasi ADB berada dalam kelompok LMI adalah Indonesia,
dengan melihat perkembangan tahun 2013 dimana pendapatan perkapita masih
berkisar $ 5.170 (ppp harga konstan 1990), maka ADB memastikan bahwa Indonesia
telah masuk dalam perangkap lower
middle income (LMIT).
Selain masalah
“Middle Income Trap” tersebut diatas, masalah yang ada muncul dalam “middle
income class” di Indonesia” adalah ternyata mereka berprilaku kian konsumtif. Sekitar ¾ pengeluran rumah
tangga kelas menengah dialokasikan untuk konsumsi mulai darikebutuhan
sehari-hari (41%), mencicil hutang (12%), berkomunikasi seperti telepon dan
berinternet (9%), dan menikmati hiburan (7%). Hanya seperempat dari pendapatan
ditabung (16%) dan diinvesasikan (3%).
·
Kesenjangan
Pendapatan Masyarakat
Meskipun pendapatan perkapita suatu negara selalu meningkat
hingga mencapai tingkatan yang lebih maju dan sejahtera, namun pendapatan
perkapita dapat bias pada suatu kelompok tertentu yang lebih mampu meraih
manfaat dari pertumbuhan perekonomian. Dalam hal ini, adanya ketidak-merataan produktivitas
sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin melebar (kesenjangan antar
wilayah, kesenjangan antar sektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan).
Keterangan : Pengukuran menggunakan “GINI Ratio”, apabila
koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila
bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.
Tingkat kesenjangan pendapatan penduduk
di Indonesia semakin meningkat, dari 0,33 pada tahun 2004 menjadi 0,37 (2009)
dan terus meningkat hingga mencapai 0,41sejak tahun 2011. Angka indeks tersebut
menunjukkan bahwa porsi pendapatan terhadap PDB dari 40% penduduk berpendapatan
terendah terhadap pendapatan nasional mengalami penurunan dari 20,22% (2004)
menjadi 16,86% (2011), begitu pula porsi dari 40% penduduk berpendapatan
menengah menurun dari 36,9% menjadi 34,7%, sedangkan 20% penduduk berpendapatan
tertinggi justru mengalami peningkatan dari 42,09% menjadi 48,41%.
Hal ini menunjukkan bahwa
kelompok berpendapatan tertinggi mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam
perekonomian dibandingkan kelompok berpendapatan terendah dan menengah.
Dan justeru Menurut Bambang
Brodjonegoro (Wakil Menteri Keuangan); “yang mengganggu dari masalah middle
income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan
antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”.
·
Literasi
Keuangan (Financial Literacy)
Literasi
keuangan (Financial Literacy) adalah tingkat pengetahuan dasar masyarakat
tentang keuangan, yaitu mencakup keterampilan dalam hal mengelola keuangannya
(mendapatkan-membelanjakan, menabung, investasi dan meminjam uang). Tingkat pemahaman
masyarakat akan literasi keuangan akan menjadi bekal penting dalam setiap pengambilan
keputusan keuangan yang dapat meningkatkan sumber daya keuangannya, dan
mendorong akses kedalam sistem keuangan.
Tingkat
literasi keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di
negara-negara sedang berkembang, dan salah satu permasalahan yang
mengemuka di Indonesia adalah kesenjangan sektor keuangan yang masih terbilang
tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga. Kesenjangan sektor keuangan di
Indonesia tidak hanya menyangkut keterjangkauan (inklusi), tetapi juga tentang
pemahaman (literasi).
Berdasarkan survei indeks MasterCard, untuk seluruh negara Asia Pasifik yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat terendah ketiga. Khusus komponen indeks investasi, posisi Indonesia terbelakang di antara seluruh negara Asia Pasifik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan survei nasional mengenai
tingkat Literasi Keuangan masyarakat Indonesia, Survei Nasional Literasi
Keuangan dilakukan pada Semester I tahun 2013 di 20 provinsi dengan melibatkan
jumlah responden sebanyak 8.000 orang. Dari Survei
Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan pada 8.000 responden, diketahui bahwa
hanya 21,84% penduduk Indonesia tergolong memiliki tingkat literasi keuangan
baik.
Hasil survey lainnya adalah sbb.:
Dari
permasalahan yang dihadapi tersebut diatas, jelas tampak bahwa walaupun laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukan angka yang mempesona,
tetapi jika kita mencermati permasalahan yang tengah dihadapi saat ini; (1)Middle
Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah), dan (2) Ketidak-merataan
produktivitas, serta (3)Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat, maka
angka-angka yang mempesona tersebut adalah merupakan hal yang semu semata.
Dengan kata lain, pertumbuhan
ekonomi Indonesia saat ini masih belum kokoh (baca: rapuh) dan belum inklusif
(karena karena masih ada sebagian kelompok yang belum menikmati).
Permasalahan “Middle Income
Trap” dan “Ketidak-merataan produktivitas” serta “Rendahnya Tingkat Literasi
Keuangan Masyarakat” adalah permasalahan kritis yang saling terkait dan harus
segera diselesaikan. Keterkaitan ini dapat
dilihat sbb.:
·
Rendahnya tingkat literasi keuangan seseorang, akan menyebabkan
orang tersebut cenderung berprilaku konsumtif dan boros.
·
Berdasarkan survey, middle income class Indonesia menunjukan
prilaku yang semakin konsumtif dan cenderung boros.
·
Yang sangat mengganggu dalam middle income trap adalah
disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok
masyarakat maupun disparitas antar daerah”. (Bambang Brodjonegoro)
·
Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat
makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan
investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan
perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Oleh karena itu, sebagai
salah satu strategi untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dan sekaligus inklusif”, maka upaya pemerintah (baca: OJK) dalam meningkatkan
tingkat literasi keuangan diseluruh kalangan masyarakat Indonesia adalah
merupakan suatu upaya yang sangat tepat.
Upaya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta penggunaan
produk dan jasa keuangan oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk
meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat.
Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia
Menurut
penilaian Deputi Gubernur Bank Indonesia, M.Hadad, perekonomian nasional tidak
akan mudah tergoyahkan atau terimbas oleh berbagai krisis keuangan dunia jika
masyarakat memahami sistem keuangan (Kompas, 21 Oktober 2008).
·
Banyaknya masyarakat yang tidak
mengerti tentang finansial menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami
kerugian, baik akibat penurunan kondisi perekonomian dan inflasi atau karena
berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung boros karena masyarakat semakin
konsumtif.
·
Masyarakat banyak yang memanfaatkan
kredit rumah dan kartu kredit , tetapi karena pengetahuannya minim, tidak
sedikit yang mengalami kerugian atau sering terjadi perbedaan perhitungan
antara konsumen dan bank.
·
Banyak masyarakat yang tidak
berinvestasi ataupun tidak bisa mengakses pasar modal dan pasar uang, karena
memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut.
Pada tanggal 19 November 2013 secara
resmi telah diluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan
Indonesia.
Strategi
tersebut merupakan rangkaian
proses atau aktivitas untuk meningkatkan : Pengetahuan (knowledge); keterampilan
(skill); dan keyakinan (confidence) masyarakat luas sehingga
mereka mampu mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik.
Strategi
Nasional Literasi Keuangan merupakan program strategis yang sama pentingnya
dengan program-program nasional lainnya, dan merupakan program nasional yang
bersifat jangka panjang yang dalam implementasinya melibatkan banyak pihak.
Melalui
Literasi Keuangan diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman mengenai lembaga
jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan
risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki
keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Hal dimaksud, lebih
lanjut diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan jasa
keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi
ini pada gilirannya akan memotivasi sektor jasa keuangan untuk meningkatkan
edukasi dan mengembangkan produk dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan
berbagai lapisan masyarakat.
Literasi keuangan di tingkat mikro
menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan
akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam
konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Melalui pelaksanaan
program Strategi Nasional Literasi Keuangan secara terarah dan terukur,
diharapkan masyarakat bukan hanya menjadi well literate dalam masalah keuangan,
namun juga menjadi masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan baik yang
pada akhirnya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC.
Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC.
Jumat, 17 Januari 2014
Belajar Keuangan dengan cara Sederhana dan Menyenangkan
Masyarakat Indonesia
Pesatnya kemajuan teknologi keuangan di Indonesia saat ini
telah menciptakan kondisi semakin mudahnya seseorang mendapatkan akses
keuangannya (unpresedented access to money). Saat ini banyak perbankan yang
memasang mesin-mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) di sekolah-sekolah dan perumahan hingga pusat perbelanjaan.
Tetapi sangat disayangkan bahwa betapa sedikitnya
masyarakat kita diajarkan tentang uang, bahkan masih banyak masyarakat kita saat ini
yang belum punya pengetahuan tentang mengelola
dan menginvestasikan uang.
Semakin ramainya iklan dan promosi barang-barang
konsumtif menyerbu masyarakat modern Indonesia, turut ikut memacu semakin
besarnya hasrat anak-anak, remaja dan orang dewasa saat ini untuk berprilaku konsumtif. Bahkan barang
atau komoditi yang dahulu dipandang sebagai barang mewah, saat ini seakan sudah
menjadi kewajaran bagi masyarakat umum untuk membeli dan menggunakannya.
Masih sedikitnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan
penggunaan uang akan menyebabkan mereka kurang
pandai dalam mengambil keputusan ketika menggunakan uang.
Hasil Riset Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Dari hasil survei di 20 Provinsi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), yang melibatkan delapan ribu responden. Hasil
nya menunjukkan tingkat literasi keuangan yang rendah. Tercatat baru 22%
responden yang memahami jasa perbankan, 18% paham tentang produk dan jasa
asuransi, 15% responden memahami pegadaian, 10%
memahami lembaga pembiayaan, serta 7% yang memahami
dana pensiun. Pemahaman terendah terjadi di
pasar modal, karena hanya 4% responden yang memahami .
Karena pemahaman yang rendah, tingkat pemanfaatan produk-produk
keuangan itu juga rendah, khusus nya nonbank, yang tercermin pada
indeks utilisasi. Di
sektor perbankan tercatat indeks utilisasi 57%, yang artinya 57%
masyarakat sudah memanfaatkan jasa perbankan. Sedangkan di asuransi, hanya 11% penduduk yang
memanfaatkannya. Indeks utilisasi terendah terjadi di sektor pasar modal, karena hanya 0,11%
penduduk yang memanfaatkan.
Selain hasil tersebut diatas, OJK juga menemukan bahwa saat ini kurang
dari 30% penduduk Indonesia yang sudah mendapatkan layanan sektor keuangan.
BNI Financial Board Game
Menghadapi permasalahan tersebut dan dengan menyadari betapa pentingnya
untuk memberikan pembelajaran mengenai keuangan kepada
masyarakat, Team Busines Development Segment Emerald di PT.Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk., membuat dan menyediakan
sarana bagi masyarakat untuk dapat belajar mengenai keuangan dengan cara yang
sederhana dan menyenangkan.
BNI Financial Board Game adalah
permainan semacam ‘permainan monopoli’
yang berbentuk alat simulasi pembelajaran tentang
Kehidupan sehari-hari dan Keuangan.
Permainan ini sangat menarik dan menyenangkan serta cocok untuk mengasah
ketrampilan dan melatih kecerdasan anda dalam mengelola keuangan.
BNI Financial Board Game ini bukan sekedar permainan biasa, disini anda
belajar banyak hal tentang bagaimana mengelola keuangan-investasi-asuransi
sampai charity, yang jika dilatih secara rutin akan mampu mempertajam Financial
IQ anda.
Dengan mengalami dan terlibat langsung bermain ‘BNI Financial Board
Game’, anda akan dapat dengan lebih mudah dan lebih cepat dalam memahami
informasi komplit mengenai seluk beluk dunia keuangan; dari kondisi ekonomi
makro, cara membelanjakan uang, charity hingga perbedaan karakter berbagai
produk investasi dan asuransi yg dapat digunakan sebagai sarana utk menempatkan
dana dan melindungi anda.
BNI Financial Board Game akan dapat melatih siapapun yg berminat untuk
mempraktekkan cara-cara pengelolaan keuangan secara benar, dan juga dapat
membuka wawasan tentang produk bank, investasi dan asuransi, serta mengajarkan
cara berinvestasi seperti yg dilakukan oleh mereka yg kaya & sukses.
Minggu, 22 September 2013
INDONESIAN WEALTH MANAGEMENT INDUSTRY 2013
Indonesia stands out as being the most
confident and ambitious market in Asia.
Indonesia has been
enjoying an unprecedented economic boom not seen since its independence in
1945, the new wealth creation has spread from Jakarta to many other provinces
covering the whole archipelago.
The global private banking
industry was estimated to have AuM of just over US$16.5 trillion in 2011. The
Indonesian wealth management sector accounts for approximately US$16.6 billion
of this, which equates to 0.1% of the global total.
There are 626 UHNWIs in
Indonesia. Jakarta is home to the largest portion of them (55% or 345 of
UHNWIs). There are also sizable Indonesian UHNWI populations in Bali (35
UHNWIs), Surabaya (23 UHNWIs), Bandung (20 UHNWIs) and Medan (18 UHNWIs).
Indonesia Wealth
Management market has been increasing by leaps and bounds. According to a
recent report published on Asia’s wealth market, Indonesia will experience the
fastest HNWI (high net worth individuals) growth rate among Asian countries of
25 per cent between 2010 and 2015.
The report,
co-published by Swiss private banking group, Julius Baer and CLSA, states that
by 2015, the number of HNWIs in Indonesia will increase to 99,000, with a stock
wealth of $487bn. The report estimates that HNWI wealth will grow at
approximately 21 per cent without currency gains or around 30 per cent per
annum, taking into account rupiah appreciation.
Earlier, the wealth
management market was dominated by foreign banks. But as the market developed,
local banks started taking the lead. Right now, foreign banks’ advantage is
being rapidly eroded. Local banks have stepped up their game and with their
vast distribution network, are in a position to capture the market.
Now,
Local and foreign banks are equally positioned. Local banks have indeed
positioned themselves very strongly and created a very viable wealth management
proposition.
Since
in an effort to protect the banking sector and their customers from external
maladies in light of the recent financial crisis, the regulator no longer
allows banks to provide offshore solutions. Banks cannot offer offshore mutual
funds to the customers.
Banks also cannot
structure products linked to equities, only currency.
The enhanced
regulatory oversight by the central bank (Bank Indonesia) has had a positive
impact. Since the enhancements were introduced in 2011 (SE BI No. 13/29/DPNP Dated 9 December 2011), the regulatory
environment for the wealth management market in Indonesia is now more robust
when it comes to the management of clients’ investments and their risk
profiles.
This has raised the
bar for the wealth management industry to further lift service standards,
improve risk management and put clients’ interests first.
Therefore, to succeed in this
important client segment, local banks need to focus more on their service and
quality of their advisory processes, rather on the products they sell.
The Parts for Success
Langganan:
Postingan (Atom)