Sabtu, 08 November 2014

Pertumbuhan Ekonomi dan Literasi Keuangan

Pada tanggal 30 Agustus 2014, dalam laporan 2015 ASEAN Business Outlook Survey, disampaikan bahwa Indonesia menempati peringkat teratas sebagai target lokasi para pengusaha AS untuk memperluas bisnisnya di kawasan ASEAN. Sebanyak 41 pengusaha asal AS mengaku jatuh hati pada pesona bisnis Indonesia. Sementara itu, Vietnam dan Malaysia masing-masing berada di posisi kedua (37 persen) dan ketiga (35 persen).

Pesona ekonomi Indonesia tersebut bukanlah merupakan hal yang baru dan terlalu mengejutkan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan secara tahunan ekonomi Indonesia tumbuh 6,2% atau ketiga tertinggi di kawasan Asia, setelah China 7,8% dan Filipina 6,6%. Pendapatan per kapita di Indonesia pun naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir menjadi US$3.562 di 2012 dari US$1.916 di 2007.

Bahkan, pada tahun 2013, walaupun terjadi perlambatan dalam laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga pertumbuhan untuk keseluruhan tahun 2013 berada pada kisaran 5,8%. Apabila dibandingkan dengan negara-negara G-20 (Indonesia menjadi anggota kelompok G-20 sejak tahun 2008 dan pada tahun 2013 telah menduduki peringkat perekonomian terbesar ke-15), maka tingkat pertumbuhan Indonesia tersebut masih berada di urutan ke-2 setelah China dan di atas rata-rata tingkat pertumbuhan dunia yang pada tahun 2013 diprediksi sebesar 3,3%


Pertumbuhan IHSG (Indeks Harga Saham) atas transaksi di Bursa Efek Indonesia, naiknya volume Cadangan Devisa Negara dan meningkatnya jumlah Investasi Langsung Modal Asing ke Indonesia juga menunjukan pesatnya maju pertumbuhan ekonomi  Indonesia belakangan ini, khususnya setelah kondisi krisis ekonomi global tahun 1998 tempo dulu.


Namun demikian, betapa banyaknya pujian atas pesona ekonomi Indonesia dan daya tahan kuat perekonomian nya dalam menghadapi gejolak ekonomi dan keuangan global, justeru kita sebagai bangsa Indonesia harus berwaspada dan melakukan intropeksi diri “apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah benar-benar baik, dan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan ?”
Karena selain dari data dan angka-angka yang mempesona tersebut diatas, masih ada hal lain yang saat ini penting untuk kita cermati dan waspadai, yaitu masalah “Middle Income Trap” dan “Kesenjangan Pendapatan Masyarakat” serta “Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat”

·         Middle Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah)
Sebelum 1990 Indonesia masuk dalam kelompok Low Income country (USD PPP 2005), Sejak 1990–sekarang: Indonesia tergolong Lower Middle Income Country.

Middle Income Trap” yaitu fenomena kondisi perekonomian suatu negara yang telah berhasil masuk dalam kelompok middle income namun kemudian mengalami stagnasi dalam jangka waktu cukup lama dan tidak berhasil naik ke kelompok high income. Kondisi ini menunjukkan posisi suatu negara berada di tengah-tengah antara kelompok produsen dengan upah murah (low wage producer) dan kelompok produsen berketrampilan tinggi dan inovatif (highly skilled-innovation producer), sehingga negara tersebut kehilangan keunggulan terkait upah murah dan tidak dapat berkompetisi dengan negara maju.

Salah satu negara yang diidentifikasi ADB berada dalam kelompok LMI adalah Indonesia, dengan melihat perkembangan tahun 2013 dimana pendapatan perkapita masih berkisar $ 5.170 (ppp harga konstan 1990), maka ADB memastikan bahwa Indonesia telah masuk dalam perangkap lower middle income (LMIT).

Selain masalah “Middle Income Trap” tersebut diatas, masalah yang ada muncul dalam “middle income class” di Indonesia” adalah ternyata mereka berprilaku  kian konsumtif. Sekitar ¾ pengeluran rumah tangga kelas menengah dialokasikan untuk konsumsi mulai darikebutuhan sehari-hari (41%), mencicil hutang (12%), berkomunikasi seperti telepon dan berinternet (9%), dan menikmati hiburan (7%). Hanya seperempat dari pendapatan ditabung (16%) dan diinvesasikan (3%).

·         Kesenjangan Pendapatan Masyarakat
Meskipun pendapatan perkapita suatu negara selalu meningkat hingga mencapai tingkatan yang lebih maju dan sejahtera, namun pendapatan perkapita dapat bias pada suatu kelompok tertentu yang lebih mampu meraih manfaat dari pertumbuhan perekonomian. Dalam hal ini, adanya ketidak-merataan produktivitas sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin melebar (kesenjangan antar wilayah, kesenjangan antar sektor ekonomi, dan kesenjangan pendapatan).
Keterangan    :    Pengukuran menggunakan “GINI Ratio”, apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.

Tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di Indonesia semakin meningkat, dari 0,33 pada tahun 2004 menjadi 0,37 (2009) dan terus meningkat hingga mencapai 0,41sejak tahun 2011. Angka indeks tersebut menunjukkan bahwa porsi pendapatan terhadap PDB dari 40% penduduk berpendapatan terendah terhadap pendapatan nasional mengalami penurunan dari 20,22% (2004) menjadi 16,86% (2011), begitu pula porsi dari 40% penduduk berpendapatan menengah menurun dari 36,9% menjadi 34,7%, sedangkan 20% penduduk berpendapatan tertinggi justru mengalami peningkatan dari 42,09% menjadi 48,41%.
Hal ini menunjukkan bahwa kelompok berpendapatan tertinggi mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam perekonomian dibandingkan kelompok berpendapatan terendah dan menengah.
Dan justeru Menurut Bambang Brodjonegoro (Wakil Menteri Keuangan); “yang mengganggu dari masalah middle income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”.

·           Literasi Keuangan (Financial Literacy)
Literasi keuangan (Financial Literacy) adalah tingkat pengetahuan dasar masyarakat tentang keuangan, yaitu mencakup keterampilan dalam hal mengelola keuangannya (mendapatkan-membelanjakan, menabung, investasi dan meminjam uang). Tingkat pemahaman masyarakat akan literasi keuangan akan menjadi bekal penting dalam setiap pengambilan keputusan keuangan yang dapat meningkatkan sumber daya keuangannya, dan mendorong akses kedalam sistem keuangan.
Tingkat literasi keuangan di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara-negara sedang berkembang, dan salah satu permasalahan yang mengemuka di Indonesia adalah kesenjangan sektor keuangan yang masih terbilang tinggi jika dibandingkan negara-negara tetangga. Kesenjangan sektor keuangan di Indonesia tidak hanya menyangkut keterjangkauan (inklusi), tetapi juga tentang pemahaman (literasi).

Berdasarkan survei indeks MasterCard, untuk seluruh negara Asia Pasifik yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat terendah ketiga. Khusus komponen indeks investasi, posisi Indonesia terbelakang di antara seluruh negara Asia Pasifik.


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah melakukan survei nasional mengenai tingkat Literasi Keuangan masyarakat Indonesia, Survei Nasional Literasi Keuangan dilakukan pada Semester I tahun 2013 di 20 provinsi dengan melibatkan jumlah responden sebanyak 8.000 orang. Dari Survei Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan pada 8.000 responden, diketahui bahwa hanya 21,84% penduduk Indonesia tergolong memiliki tingkat literasi keuangan baik.

Hasil survey lainnya adalah sbb.:



Dari permasalahan yang dihadapi tersebut diatas, jelas tampak bahwa walaupun laju pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini menunjukan angka yang mempesona, tetapi jika kita mencermati permasalahan yang tengah dihadapi saat ini; (1)Middle Income Trap (Perangkap Negara Berpendapatan Menengah), dan (2) Ketidak-merataan produktivitas, serta (3)Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat, maka angka-angka yang mempesona tersebut adalah merupakan hal yang semu semata.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih belum kokoh (baca: rapuh) dan belum inklusif (karena karena masih ada sebagian kelompok yang belum menikmati).

Permasalahan “Middle Income Trap” dan “Ketidak-merataan produktivitas” serta “Rendahnya Tingkat Literasi Keuangan Masyarakat” adalah permasalahan kritis yang saling terkait dan harus segera diselesaikan. Keterkaitan ini dapat  dilihat sbb.:
·           Rendahnya tingkat literasi keuangan seseorang, akan menyebabkan orang tersebut cenderung berprilaku konsumtif dan boros.
·           Berdasarkan survey, middle income class Indonesia menunjukan prilaku yang semakin konsumtif dan cenderung boros.
·           Yang sangat mengganggu dalam middle income trap adalah disparitas atau kesenjangan, baik disparitas pendapatan antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah”. (Bambang Brodjonegoro)
·           Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.

Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan sekaligus inklusif”, maka upaya pemerintah (baca: OJK) dalam meningkatkan tingkat literasi keuangan diseluruh kalangan masyarakat Indonesia adalah merupakan suatu upaya yang sangat tepat.
Upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta penggunaan produk dan jasa keuangan oleh masyarakat menjadi sangat penting untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat.

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia
Menurut penilaian Deputi Gubernur Bank Indonesia, M.Hadad, perekonomian nasional tidak akan mudah tergoyahkan atau terimbas oleh berbagai krisis keuangan dunia jika masyarakat memahami sistem keuangan (Kompas, 21 Oktober 2008).
·         Banyaknya masyarakat yang tidak mengerti tentang finansial menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami kerugian, baik akibat penurunan kondisi perekonomian dan inflasi atau karena berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung boros karena masyarakat semakin konsumtif.
·         Masyarakat banyak yang memanfaatkan kredit rumah dan kartu kredit , tetapi karena pengetahuannya minim, tidak sedikit yang mengalami kerugian atau sering terjadi perbedaan perhitungan antara konsumen dan bank.
·         Banyak masyarakat yang tidak berinvestasi ataupun tidak bisa mengakses pasar modal dan pasar uang, karena memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut.

Pada tanggal 19 November 2013 secara resmi telah diluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia.
Strategi tersebut merupakan rangkaian proses atau aktivitas untuk meningkatkan : Pengetahuan (knowledge); keterampilan (skill); dan keyakinan (confidence) masyarakat luas sehingga mereka mampu mengelola keuangan pribadi dengan lebih baik.
Strategi Nasional Literasi Keuangan merupakan program strategis yang sama pentingnya dengan program-program nasional lainnya, dan merupakan program nasional yang bersifat jangka panjang yang dalam implementasinya melibatkan banyak pihak.

Melalui Literasi Keuangan diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman mengenai lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan. Hal dimaksud, lebih lanjut diharapkan mampu mendorong peningkatan pemanfaatan produk dan jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kondisi ini pada gilirannya akan memotivasi sektor jasa keuangan untuk meningkatkan edukasi dan mengembangkan produk dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat.



Literasi keuangan di tingkat mikro menjadi fondasi ekonomi di tingkat makro. Masyarakat yang paham soal keuangan akan punya kebiasaan menabung dan investasi, serta lebih bijaksana dalam konsumsi dan berhutang, merupakan perilaku bagi struktur ekonomi yang kokoh.
Melalui pelaksanaan program Strategi Nasional Literasi Keuangan secara terarah dan terukur, diharapkan masyarakat bukan hanya menjadi well literate dalam masalah keuangan, namun juga menjadi masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan baik yang pada akhirnya mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Jakarta,
Alwas Kurniadi, CWM., RFC.


Jumat, 17 Januari 2014

Belajar Keuangan dengan cara Sederhana dan Menyenangkan

Masyarakat Indonesia
Pesatnya kemajuan teknologi keuangan di Indonesia saat ini telah menciptakan kondisi semakin mudahnya seseorang mendapatkan akses keuangannya (unpresedented access to money). Saat ini banyak perbankan yang memasang mesin-mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri)  di sekolah-sekolah dan perumahan hingga pusat perbelanjaan.

Tetapi sangat disayangkan bahwa betapa sedikitnya masyarakat kita diajarkan tentang uang, bahkan masih banyak masyarakat kita saat ini yang belum punya pengetahuan tentang mengelola dan menginvestasikan uang.

Semakin ramainya iklan dan promosi barang-barang konsumtif menyerbu masyarakat modern Indonesia, turut ikut memacu semakin besarnya hasrat anak-anak, remaja dan orang dewasa saat ini untuk berprilaku konsumtif. Bahkan barang atau komoditi yang dahulu dipandang sebagai barang mewah, saat ini seakan sudah menjadi kewajaran bagi masyarakat umum untuk membeli dan menggunakannya.
Masih sedikitnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan penggunaan uang akan menyebabkan mereka kurang pandai dalam mengambil keputusan ketika menggunakan uang.

Hasil Riset Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Dari hasil survei di 20 Provinsi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang melibatkan delapan ribu responden. Hasil nya menunjukkan tingkat literasi keuangan yang rendah. Tercatat baru 22% responden yang memahami jasa perbankan, 18% paham tentang produk dan jasa asuransi, 15% responden memahami pegadaian, 10% memahami lembaga pembiayaan, serta 7% yang memahami  dana pensiun. Pemahaman terendah terjadi di pasar modal, karena hanya 4% responden yang memahami .
Karena pemahaman yang rendah, tingkat pemanfaatan produk-produk keuangan itu juga rendah, khusus nya nonbank, yang tercermin pada indeks  utilisasi. Di sektor perbankan tercatat indeks utilisasi 57%, yang artinya 57% masyarakat sudah memanfaatkan jasa perbankan. Sedangkan di asuransi, hanya 11% penduduk yang memanfaatkannya. Indeks utilisasi terendah terjadi  di sektor pasar modal, karena hanya 0,11% penduduk yang memanfaatkan.
Selain hasil tersebut diatas, OJK juga menemukan bahwa saat ini kurang dari 30% penduduk Indonesia yang sudah mendapatkan layanan sektor keuangan.

BNI Financial Board Game
Menghadapi permasalahan tersebut dan dengan menyadari betapa pentingnya untuk memberikan pembelajaran mengenai keuangan kepada masyarakat, Team Busines Development Segment Emerald di PT.Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk., membuat dan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk dapat belajar mengenai keuangan dengan cara yang sederhana dan menyenangkan.

BNI  Financial Board Game adalah permainan semacam ‘permainan monopoli yang berbentuk alat simulasi pembelajaran tentang Kehidupan sehari-hari dan Keuangan.
Permainan ini sangat menarik dan menyenangkan serta cocok untuk mengasah ketrampilan dan melatih kecerdasan anda dalam mengelola keuangan.
BNI Financial Board Game ini bukan sekedar permainan biasa, disini anda belajar banyak hal tentang bagaimana mengelola keuangan-investasi-asuransi sampai charity, yang jika dilatih secara rutin akan mampu mempertajam Financial IQ anda.

Dengan mengalami dan terlibat langsung bermain ‘BNI Financial Board Game’,  anda akan dapat dengan  lebih mudah dan lebih cepat dalam memahami informasi komplit mengenai seluk beluk dunia keuangan; dari kondisi ekonomi makro, cara membelanjakan uang, charity hingga perbedaan karakter berbagai produk investasi dan asuransi yg dapat digunakan sebagai sarana utk menempatkan dana dan melindungi anda.
BNI Financial Board Game akan dapat melatih siapapun yg berminat untuk mempraktekkan cara-cara pengelolaan keuangan secara benar, dan juga dapat membuka wawasan tentang produk bank, investasi dan asuransi, serta mengajarkan cara berinvestasi seperti yg dilakukan oleh mereka yg kaya & sukses.

Minggu, 22 September 2013

INDONESIAN WEALTH MANAGEMENT INDUSTRY 2013

Indonesia stands out as being the most confident and ambitious market in Asia.
Indonesia has been enjoying an unprecedented economic boom not seen since its independence in 1945, the new wealth creation has spread from Jakarta to many other provinces covering the whole archipelago.
The global private banking industry was estimated to have AuM of just over US$16.5 trillion in 2011. The Indonesian wealth management sector accounts for approximately US$16.6 billion of this, which equates to 0.1% of the global total.
There are 626 UHNWIs in Indonesia. Jakarta is home to the largest portion of them (55% or 345 of UHNWIs). There are also sizable Indonesian UHNWI populations in Bali (35 UHNWIs), Surabaya (23 UHNWIs), Bandung (20 UHNWIs) and Medan (18 UHNWIs).

Indonesia Wealth Management market has been increasing by leaps and bounds. According to a recent report published on Asia’s wealth market, Indonesia will experience the fastest HNWI (high net worth individuals) growth rate among Asian countries of 25 per cent between 2010 and 2015.
The report, co-published by Swiss private banking group, Julius Baer and CLSA, states that by 2015, the number of HNWIs in Indonesia will increase to 99,000, with a stock wealth of $487bn. The report estimates that HNWI wealth will grow at approximately 21 per cent without currency gains or around 30 per cent per annum, taking into account rupiah appreciation.

Earlier, the wealth management market was dominated by foreign banks. But as the market developed, local banks started taking the lead. Right now, foreign banks’ advantage is being rapidly eroded. Local banks have stepped up their game and with their vast distribution network, are in a position to capture the market.

Now, Local and foreign banks are equally positioned. Local banks have indeed positioned themselves very strongly and created a very viable wealth management proposition.

Since in an effort to protect the banking sector and their customers from external maladies in light of the recent financial crisis, the regulator no longer allows banks to provide offshore solutions. Banks cannot offer offshore mutual funds to the customers.
Banks also cannot structure products linked to equities, only currency.

The enhanced regulatory oversight by the central bank (Bank Indonesia) has had a positive impact. Since the enhancements were introduced in 2011 (SE BI No. 13/29/DPNP Dated 9 December 2011), the regulatory environment for the wealth management market in Indonesia is now more robust when it comes to the management of clients’ investments and their risk profiles.
This has raised the bar for the wealth management industry to further lift service standards, improve risk management and put clients’ interests first.

Therefore, to succeed in this important client segment, local banks need to focus more on their service and quality of their advisory processes, rather on the products they sell.
  

The Parts for Success

WEALTH MANAGEMENT, PRIVATE BANKING AND FINANCIAL PLANNING

Layanan Private Banking atau yang belakangan ini semakin marak disebut dengan Wealth Management Service, sebenarnya adalah istilah yang digunakan bagi sebuah institusi perbankan besar yang menawarkan jasa keuangan kepada segmen nasabah individual tertentu.
Institusi perbankan ini biasanya memiliki dua divisi yang berbeda, yaitu Divisi Private Banking/Wealth Management dan Divisi Corporate Banking.
Secara historis Private Banking dipandang sangat eksklusif, hanya melayani individu-individu dengan kekayaan diatas USD. 1 juta, walaupun untuk saat ini dimungkinkan untuk membuka rekening Wealth Management hanya dengan saldo USD. 50,000.
Divisi Private Banking/Wealth Management dari suatu institusi menyediakan berbagai jenis jasa seperti jasa pengelolaan kekayaan, tabungan, jasa konsultasi pajak dan pengelolaan warisan bagi nasabahnya.

Skala
Menurut Scorpio Partnership's Annual Private Banking Benchmark for 2006, Divisi Private Banking terbesar dimiliki oleh UBS AG, diikuti oleh Citigroup dan Merril Lynch yang masing-masing memiliki asset kelolaan (Asset Under Management/AUM) lebih dari $ 1 miliar.
Bisnis Layanan Private Banking memperlihatkan pertumbuhan yang pesat pada profit dan asset kelolaan selama tahun 2006 setelah sebelumnya sejak tahun 2000 hingga 2003 mengalami pertumbuhan yang lambat karena penurunan pasar modal dan melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Masih menurut kajian Scorpio Partnership, laba sebelum pajak dari 71 penyedia jasa Private Banking yang disurvey tumbuh 25% sepanjang tahun 2005, sedangkan aset kelolaannya naik 18% atau sekitar $8.5 miliar.
Sedangkan menurut Goldman Sachs, aliran modal yang akan masuk ke Private Banking meningkat sekitar 7% pertahun hingga tahun 2007.
Kajian lain yang dilakukan oleh IFSL menunjukkan bahwa setelah mengalami penurunan selama beberapa tahun, aktivitas Private Banking meningkat 3,8% di tahun 2004.
Banyak Private Banking besar beroperasi di Negara Swiss. Diperkirakan 35% dana offshore dari individu maupun institusi ditempatkan pada bank-bank di Swiss atau sekitar 3 miliar franc Swis.
Namun belakangan ini, hampir lebih dari 52% penyedia jasa Private Banking yang ada diseluruh dunia juga membuka kantor operasionalnya di negara Singapura.

1. Apa yang dimaksud dengan Wealth Management?
Banyak definisi Wealth Management, namun secara fundamental, akademisi dan institusi keuangan menggambarkan Wealth Management sebagai berikut :
A. Perencanaan investasi jangka panjang berdasarkan kriteria dan tujuan keuangan masing-masing individu.
B. Pengembangan aset dan pengelolaan hutang secara efektif.
C. Melindungi kekayaan melalui perencanaan pajak, trust dan manajemen risiko.
D. Pengalokasian kekayaan berdasarkan perencanaan pajak.

2. Bank dan Wealth Management
Banyak bank telah memiliki divisi Wealth Management, walaupun tidak menawarkan seluruh jasa Wealth Management. Umumnya, Perbankan membagi jasa yang ditawarkan kedalam 3 area, yaitu Retail, Priority Banking (Privilege Banking) dan Private Banking.
Jasa dan Produk yang ditawarkan oleh Retail dan Priority Banking masih terbatas, sedangkan Private Banking menawarkan jasa Wealth Management yang lengkap.
a.        Retail dan Priority Banking
Retail Banking ditujukan bagi nasabah kategori mass (dengan kekayaan kurang dari USD. 50,000), sedangkan Priority Banking ditujukan bagi nasabah mass affluent (dengan kekayaan diatas USD. 50,000 hingga USD. 150,000 atau lebih). Perbedaan Priority Banking dan Retail Banking terletak pada tingkat kualitas layanan yang ditawarkan oleh Personal Banking Officer.
Satu dekade terakhir ini Divisi Retail Banking dan Priority Banking mulai menawarkan jasa Wealth Management di Asia. Sehingga yang sebelumnya hanya menawarkan produk investasi dan asuransi, mulai memperkenalkan jasa perencanaan keuangan kepada nasabahnya. Namun demikian Wealth Management itu sendiri sebenarnya lebih dari sekedar produk dan jasa ini, karena mencakup produk dan jasa yang lebih kompleks seperti jasa konsultasi pajak dan trust. Beberapa alasan mengapa produk dan jasa yang kompleks ini tidak ditawarkan kepada kategori mass dan mass affluent :
o Banyak dari produk ini mensyaratkan jumlah investasi minimum yang sangat besar
o Banyak dari produk ini berisiko tinggi, sedangkan kategori nasabah mass dan mass affluent tidak memiliki cukup dana untuk diinvestasikan kedalam berbagai jenis produk guna meminimalkan risiko (diversifikasi)
o Nasabah mass dan mass affluent tidak memiliki jumlah kekayaan yang memadai untuk memperoleh manfaat dari jasa perencaan pajak dan trust
b.        Private Banking
Private Banking ditujukan bagi nasabah yang kekayaannya sangat besar (biasanya dengan kekayaan bersih $ 1 juta keatas) dan Private Bankers menawarkan jasa yang bersifat sangat pribadi, bahkan hingga jasa pesuruh dan supir. Jasa dan produk yang ditawarkan juga jauh lebih luas. Institusi-institusi tersebut memiliki hubungan kerjasama dengan kantor pengacara, konsultan pajak, agen real estate, securities broker dan fund manager untuk melayani para nasabahnya.

3. Perencanaan Keuangan
Baik Retail Banking, Priority Banking, Private Banking saat ini menawarkan jasa Perencanaan Keuangan kepada nasabahnya. Karena sangat penting untuk mengelola kekayaan nasabah secara efektif sesuai dengan kebutuhannya. Sesudah mempertimbangkan kriteria dan tujuan keuangan dari masing-masing nasabah maka konsultan keuangan akan dapat menetapkan investasi jangka panjang bagi mereka. Misalnya, produk investasi seperti unit trust dipakai untuk mengembangkan aset nasabah, sedangkan produk asuransi dipakai untuk melindungi kekayaan nasabah. Bagi nasabah Private Banking, perencanaan pajak dapat mengupayakan efesiensi kewajiban pajak mereka secara signifikan, dan jasa trust dapat memastikan bahwa kekayaan mereka akan tetap dikelola dengan baik.

4. Manajemen Portfolio
Jasa-jasa keuangan bagi para nasabah tidak berakhir setelah proposal perencanaan keuangan (financial plan) dibuat dan dana diinvestasikan. Perencanaan keuangan merupakan aktivitas yang panjang dan berkelanjutan.
Relationship Managers bersama Investment Manager perlu memastikankan bahwa portofolio nasabahnya sudah sesuai dengan tujuan dan plan, hal ini disebut sebagai Portofolio Management.
Sebagai panduan, disarankan agar dilakukan review atas portfolio nasabah setiap 6 bulan sekali. Bukan berarti hal ini menutup kemungkinan untuk melakukan review lebih sering lagi, tergantung kondisi pasar dan ekonomi. Portfolio Management saat ini telah menjadi tren dan tersedia bagi semua nasabah Retail, Priority dan Private Banking, walaupun jasa Portfolio Management yang diberikan ini berbeda – beda bentuknya. Nasabah Retail menerima jasa Portfolio Management ini dalam bentuk yang paling sederhana berupa laporan portfolio bulanan yang terkonsolidasi (consolidated report), sementara nasabah Priority Banking menerima laporan serupa yang dihasilkan dari MS Excel atau Access.
Nasabah Private Banking menerima data informasi, analisis dan rekomendasi yang lebih lengkap (Comprehensive). Data – data ini terdapat dalam software Portfolio Management yang mengelola record nasabah, rencana keuangan, portofolio keuangan juga melakukan valuasi dan memberikan rekomendasi.

5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi berbeda antara satu bank dengan bank lainnya,mencakup penjualan, operasional, konsultasi hukum, manajemen risiko, teknologi informasi, dll. Prinsip dasarnya adalah mengadopsi struktur organisasi yang paling efisien dan efektif bagi bisnis.
Anda bisa memutuskan untuk membangun Divisi Private Banking secara lengkap dalam satu atap (integrated) dengan unit – unit penunjang di dalamnya. Atau sebagai alternatif, untuk permulaan, anda bisa membentuk Divisi Private Banking yang hanya terdiri dari Relationship Manager, dimana unit lainnya digabung dengan divisi – divisi lain yang ada. Contohnya unit lain tersebut berasal dari :
o Bagian manajemen investasi yang menunjang produk dan pengelolaan pasar modal dan pasar uang
o Bagian Consumer Banking yang menunjang produk dan pengelolaan unit trust
o Bagian asuransi yang menunjang produk dan pengelolaan asuransi
o Bagian hukum dan kepatuhan yang berhubungan dengan konsultasi hukum
o Bagian Risiko Bisnis dan Operasional yang berhubungan dengan risiko seperti anti-money laundering atau Know-Your-Client (KYC)

6. Jasa Private Banking
Pada umumnya, Private Banking menawarkan jasa-jasa seperti:
a. Perencanaan Keuangan
Penasehat keuangan berkewajiban mereview kekayaan nasabah dan menyusun rencana keuangan sesuai dengan tujuan dan profil risiko nasabah.
Penasehat keuangan ini secara rutin mereview plan nasabah dan membandingkannya dengan kondisi aktual untuk memastikan bahwa investasi tersebut telah sesuai dengan plan. Selanjutnya memberikan saran investasi dan merekomendasikan re-alokasi portofolio berdasarkan perubahan pasar. Apabila nasabah telah memberikan surat kuasa kepada penasehat keuangan untuk mengelola kekayaannya, maka penasehat keuangan dapat mengambil keputusan investasi tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan nasabah.
b. Investasi
Bank bisa memiliki manajer investasi sendiri untuk mengelola dana nasabah individual atau kolektif, apabila dana nasabah tersebut jumlahnya cukup signifikan. Jika produk yang ditawarkan menarik maka nasabah akan menginvestasikan dananya dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, jika produk yang ditawarkan kurang menarik maka dana akan diarahkan untuk dikelola oleh manajer investasi eksternal. Hal ini berlaku untuk seluruh produk yang ditawarkan, baik produk pasar modal, pasar uang, asuransi, emas dan lain-lain. Jenis produk investasi sangat bervariasi dan akses kepada counterpart/partner bisnis (seperti broker dan dealer) yang sudah memiliki hubungan kerjasama selalu tersedia.
c. Perencanaan Pajak
Spesialis pajak internal maupun eksternal berkewajiban mereview keuangan nasabah dan memberikan solusi untuk meminimalkan jumlah pembayaran pajak. Solusi pajak ini berbeda dengan menghindari pembayaran pajak yang berarti melanggar hukum. Meminimalkan jumlah pembayaran pajak namun tetap mematuhi peraturan pajak yang berlaku. Contohnya di Malaysia, setiap zakat yang dibayarkan diperlakukan sebagai biaya sehingga mengurangi kewajiban pajak. Di Singapura, potongan harga bagi anak-anakdiperlakukan sebagai pengurang pajak bagi orang tua yang memiliki penghasilan tinggi.
d. Layanan Trust
Nasabah mempercayakan kekayaannya kepada trustee untuk memastikan bahwa dana akan dikelola dengan baik dan diinvestasikan bagi kepentingan ahli waris. Walaupun dana tersebut milik nasabah, namun mereka harus meminta persetujuan dari trustee sebelum memakai atau menginvestasikan dana tersebut. Dalam hal nasabah meninggal dunia, trustee akan memastikan bahwa dana tersebut akan terus dikelola untuk ahli waris yang belum cukup dewasa secara hukum. Layanan ini melindungi kekayaan nasabah hingga generasi berikutnya. Trustee adalah ahli yang telah berpengalaman di bidang hukum dan familiar dengan Undang-Undang tentang Trust. Layanan trust ini diberikan oleh ahli hukum internal dan bukan diberikan oleh firma hukum eksternal.
e. Layanan Concierge
Layanan ini tidak diungkapkan ataupun ditulis dalam literatur. Namun nasabah Private Banking mengharapkan tersedianya layanan tersebut. Karena nasabah Private Banking sangat berharga, maka sangat jarang seorang Relationship Manager menolak permintaan nasabah yang membutuhkan bantuan.

7. Contingencies
Apapun infrastrukstur dan rencana yang dipakai untuk mendirikan Divisi Private Banking, contingencies tetap harus diterapkan dalam hal terjadinya pertumbuhan bisnis yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak terjadi ketidaknyamanan atau sesuatu yang merugikan bagi nasabah.